Nah, sabtu malem, 24 Maret 2007, sejak jam 8 malam ibu mulai sering ke belakang. Hingga akhirnya pada jam 10 malem, setelah ibu meminum setengah gelas milo hangat yang dibuatkan ayah, mereka berdua berangkat ke Rumah Sakit lagi. Saat itu kontraksi ibu sudah per 10 menit. Tapi tiap kontraksinya sendiri belum sampai 30 detik.
Sebenarnya aku kasihan melihat ibu seperti itu. Tapi aku juga harus keluar dari rahim beliau, karena jika tidak keluar justru malah akan berbahaya, baik untukku dan tentu saja untuk ibuku tercinta.
Sesampai di Rumah Sakit, ibu langsung ditempatkan di ruang VK. Itu lho, ruang yang dipakai untuk melahirkan. Di sana Ayah menemani ibu sampai pagi. Malamnya ayah sempat juga sih mbelikan ibu roti tawar dan 1 botol aqua.
Selama menemani ibu, semula ayah berkeras untuk menjaga ibu sambil duduk di kursi dekat ibu dibaringkan. Namun nampaknya ayah juga mengantuk, sambil terkantuk-kantuk akhirnya ayah bersedia pindah untuk tidur di kasur sebelah ibu.
Minggunya, jam setengah lima pagi Ayah pamitan untuk pulang. Sementara itu ibu tetep aja di RS. Waktu Ayah di rumah dan sedang mempersiapkan sesuatu yang bisa di bawa ke RS, ibu nge-SMS Ayah supaya tas besar yang isinya peralatan persalinanku tidak dibawa dulu. Karena kemungkinan ibu akan pulang lagi. Kata ibu, beliau nggak kerasan di RS. Aneh juga ya ibu ini, padahal kerjanya selama ini kan juga RS.
Ternyata ibu nggak jadi pulang. Setelah disuntik dengan perangsang persalinan, ibu mulai sering kontraksinya. Bahkan waktu jam 10 pagi kontraksinya sudah 2 dan berkembang menjadi 4 pada pukul 2 siang. Memang sih cukup lama untuk ukuran persalinan pada umumnya.
Sampe Senin pagi, aku belum juga mau keluar. Entah mengapa ya. Aku juga nggak tahu sebabnya. Yang pasti ibu merasakan sakit yang amat sangat selama hampir 24 jam. Hingga jam 5 pagi, ibu baru buka 8. Sungguh perjuangan yang sangat besar untuk melahirkanku. Sebuah pengorbanan yang seharusnya nggak akan aku lupakan selamanya.
Memang tidak salah jika surga itu di bawah telapak kaki ibu. Lha untuk melahirkanku saja nyawa ibu yang dipertaruhkan
Sebenarnya aku kasihan melihat ibu seperti itu. Tapi aku juga harus keluar dari rahim beliau, karena jika tidak keluar justru malah akan berbahaya, baik untukku dan tentu saja untuk ibuku tercinta.
Sesampai di Rumah Sakit, ibu langsung ditempatkan di ruang VK. Itu lho, ruang yang dipakai untuk melahirkan. Di sana Ayah menemani ibu sampai pagi. Malamnya ayah sempat juga sih mbelikan ibu roti tawar dan 1 botol aqua.
Selama menemani ibu, semula ayah berkeras untuk menjaga ibu sambil duduk di kursi dekat ibu dibaringkan. Namun nampaknya ayah juga mengantuk, sambil terkantuk-kantuk akhirnya ayah bersedia pindah untuk tidur di kasur sebelah ibu.
Minggunya, jam setengah lima pagi Ayah pamitan untuk pulang. Sementara itu ibu tetep aja di RS. Waktu Ayah di rumah dan sedang mempersiapkan sesuatu yang bisa di bawa ke RS, ibu nge-SMS Ayah supaya tas besar yang isinya peralatan persalinanku tidak dibawa dulu. Karena kemungkinan ibu akan pulang lagi. Kata ibu, beliau nggak kerasan di RS. Aneh juga ya ibu ini, padahal kerjanya selama ini kan juga RS.
Ternyata ibu nggak jadi pulang. Setelah disuntik dengan perangsang persalinan, ibu mulai sering kontraksinya. Bahkan waktu jam 10 pagi kontraksinya sudah 2 dan berkembang menjadi 4 pada pukul 2 siang. Memang sih cukup lama untuk ukuran persalinan pada umumnya.
Sampe Senin pagi, aku belum juga mau keluar. Entah mengapa ya. Aku juga nggak tahu sebabnya. Yang pasti ibu merasakan sakit yang amat sangat selama hampir 24 jam. Hingga jam 5 pagi, ibu baru buka 8. Sungguh perjuangan yang sangat besar untuk melahirkanku. Sebuah pengorbanan yang seharusnya nggak akan aku lupakan selamanya.
Memang tidak salah jika surga itu di bawah telapak kaki ibu. Lha untuk melahirkanku saja nyawa ibu yang dipertaruhkan
No comments:
Post a Comment